- Back to Home »
- Berita Populer »
- Wigan: Romantisme Ideal yang Belum Selesai
Posted by : Unknown
Kamis, 16 Mei 2013
Klub sepakbola semacam Wigan Athletic adalah sebuah noktah kesialan
dalam perjalanan sejarah. Sekian macam ketidakberuntungan menyertai
keberadaan klub ini.
Wigan hanyalah kota (kabupaten) kecil terjepit persis di tengah antara dua kota Manchester dan Liverpool. Wigan sebagai klub sepakbola karenanya kesulitan untuk mencegah warganya dari godaan untuk mendukung klub-klub termasyhur seperti Manchester United dan City ataupun Liverpool dan Everton. Bahkan untuk membentengi diri dari godaan Bolton yang persis bersebelahan dan hanya sedikit lebih besar saja mereka was-was.
Lebih sial lagi, Wigan terletak di kawasan yang secara tradisional lebih menyukai olahraga rugby ketimbang sepakbola. Wigan adalah kota rugby bukan sepakbola. Dan celakanya klub rugby Wigan Warriors adalah salah satu klub yang paling berprestasi di Inggris. Tak mengherankan walau sudah berdiri sejak 81 tahun yang lalu, Wigan Athletic tetap saja miskin pendukung hingga kini.
Bandingkanlah Wigan dengan misalnya Newcastle United atau Swansea dan Cardiff yang prestasinya juga begitu-begitu saja. Ketiga klub ini bisa berkembang dengan baik, jumlah pendukung yang besar karena nikmat keberuntungan sebagai satu-satunya institusi olahraga (besar) di kota masing-masing dan secara geografis jauh dari ancaman klub (kota) lain yang lebih berprestasi.
Kalau bukan karena ambisi pemiliknya, pengusaha lokal Dave Whelan yang membeli Wigan tahun 1995, yang sialnya bukan Sheikh dari Arab ataupun oligarkh dari Rusia karenanya uangnya ya hanya segitu saja, Wigan akan terus saja berkutat di liga bawah persepakbolaan Inggris.
Mungkin karena berbagai faktor itu para pemain juga tidak pernah menganggapnya sebagai sebuah klub yang "serius". Ia menjadi terminal pemberhentian sementara.
Untuk mereka yang sedang meniti karier, naik daun atau mematangkan diri, Wigan adalah klub yang bagus. Bertarung di Liga Primer membuat si pemain terekspos, tempat mengasah diri melawan yang terbaik dan membuka jalan ke jenjang karier yang lebih baik. Batu loncatan. Untuk pemain yang sudah dan sedang menurun, ia menjadi batu pijakan untuk menghela nafas sebelum akhirnya benar-benar pensiun.
Uang gelontoran Dave Whelan dan dari pendukung yang tidak seberapa memang hanya cukup untuk itu. Membiayai lalu lintas pergerakan pemain yang hendak naik dan hendak turun. Seberapapun upaya bisnis yang dilakukan, seberapapun upaya untuk membina pemain muda, seberapapun-apapun yang mereka lakukan, Wigan sepertinya sudah ditakdirkan seperti itu.
Tidaklah mengagetkan kalau sejarah delapan tahun kiprah Wigan di Liga Primer adalah sebuah keterengah-engahan. Timbul tenggelam di zona degradasi hingga akhirnya tahun ini betul-betul karam. Degradasi itu tentu saja membawa kesedihan yang sangat bagi mereka yang terkait dengan Wigan Athletic, dari pemain, pelatih, pemilik hingga pendukung.
Namun seperti juga kerelaan Wigan untuk menerima noktah kesialan yang melekat pada diri mereka, Wigan tidak mengeluhkan degradasi itu. Wigan tidak menyalahkan siapapun. Tidak pada ketidakberuntungan jadwal pertandingan yang harus mereka jalani, tidak pada cedera pemain belakang yang datang silih berganti sepanjang musim dan membuat pertahanan mereka lemah, tidak untuk alasan apapun juga. Mereka mencoba dan gagal. Titik.
Sikap Wigan yang seperti itu mendatangkan banyak simpati dari kalangan penggemar sepakbola Inggris. Dan simpati itu tidak melulu karena alasan sepakbola.
Bagi Anda yang mempunyai ketertarikan dengan Inggris (Raya) pasti tahu bahwa salah satu karakter utama bangsa ini, seperti tertulis dalam banyak buku, adalah do-ers -– dari kata do (melakukan). Terjemahan bebasnya mungkin bangsa yang bertindak-berusaha-bekerja-melakukan apapun hingga batas kemampuan.
Bangsa ini kemudian melengkapi karakter do-ersnya dengan apa yang dikenal dengan istilah a stiff upper lip -- bibir atas yang kaku atau mungkin lebih tepatnya dalam bahasa Indonesia menggigit bibir -- sebuah ungkapan yang berarti ketabahan menghadapi cobaan seberat apapun, kemampuan untuk menahan emosi ditengah kesialan dan ketidakberuntungan.
Ungkapan umum di Inggris do your best and let fate guide you (lakukan yang terbaik dan biar nasib yang menentukan) lahir dari kombinasi dua kualitas karakter ini. Mungkin terdengar rada-rada fatalistik dan jelas memberi nilai lebih pada usaha bukan hasil, tetapi siapakah kita yang hendak membantah ketika kombinasi dua karakter itu di masa lalu memberi sumbangan besar bagi Inggris Raya untuk membelah ombak dan menguasai dunia.
Wigan adalah personifikasi itu dalam persepakbolaan Inggris. Mereka berjuang walau sejak awal tahu telah terikat dengan sekian macam ketidakberuntungan. Mereka akhirnya gagal.
Nasib mengharuskan Wigan tercampak dari Liga Primer. Tapi toh di akhir nafas mereka di Liga Primer masih sempat-sempatnya menyubur-lestarikan makna tersirat dari do-ers dan stiff upper lip dalam persepakbolaan Inggris. Mereka memenangi Piala FA tahun ini.
Kita tahu Piala FA bagi sepakbola Inggris adalah simbol kesetaraan. Ajang kompetisi yang diikuti klub kelas kampung, amatir, semiprofesional, hingga profesional. Semua tumpah ruah menjadi satu.
Dengan menggunakan sistem gugur, di Piala FA ini terbuka kesempatan bagi yang miskin untuk mengalahkan yang kaya, yang amatir mengalahkan yang profesional, yang serba kekurangan mengalahkan yang serba berkecukupan. Di Piala FA, nasib sering berpihak kepada mereka yang serba kurang namun berusaha keras dan tabah. Sebuah romantisme ideal.
Ketika Wigan mengalahkan Manchester City yang lebih dalam segala hal di final Piala FA, seluruh Inggris kecuali pendukung Manchester City bersorak. Bukan untuk merayakan kemenangan Wigan. Bukan untuk merayakan kekalahan Manchester City. Mereka bersorak karena Wigan menyubur-lestarikan sebuah romansa: keberpihakan nasib kepada yang serba kurang namun berusaha keras dan tabah.
(detik.com)
Wigan hanyalah kota (kabupaten) kecil terjepit persis di tengah antara dua kota Manchester dan Liverpool. Wigan sebagai klub sepakbola karenanya kesulitan untuk mencegah warganya dari godaan untuk mendukung klub-klub termasyhur seperti Manchester United dan City ataupun Liverpool dan Everton. Bahkan untuk membentengi diri dari godaan Bolton yang persis bersebelahan dan hanya sedikit lebih besar saja mereka was-was.
Lebih sial lagi, Wigan terletak di kawasan yang secara tradisional lebih menyukai olahraga rugby ketimbang sepakbola. Wigan adalah kota rugby bukan sepakbola. Dan celakanya klub rugby Wigan Warriors adalah salah satu klub yang paling berprestasi di Inggris. Tak mengherankan walau sudah berdiri sejak 81 tahun yang lalu, Wigan Athletic tetap saja miskin pendukung hingga kini.
Bandingkanlah Wigan dengan misalnya Newcastle United atau Swansea dan Cardiff yang prestasinya juga begitu-begitu saja. Ketiga klub ini bisa berkembang dengan baik, jumlah pendukung yang besar karena nikmat keberuntungan sebagai satu-satunya institusi olahraga (besar) di kota masing-masing dan secara geografis jauh dari ancaman klub (kota) lain yang lebih berprestasi.
Kalau bukan karena ambisi pemiliknya, pengusaha lokal Dave Whelan yang membeli Wigan tahun 1995, yang sialnya bukan Sheikh dari Arab ataupun oligarkh dari Rusia karenanya uangnya ya hanya segitu saja, Wigan akan terus saja berkutat di liga bawah persepakbolaan Inggris.
Mungkin karena berbagai faktor itu para pemain juga tidak pernah menganggapnya sebagai sebuah klub yang "serius". Ia menjadi terminal pemberhentian sementara.
Untuk mereka yang sedang meniti karier, naik daun atau mematangkan diri, Wigan adalah klub yang bagus. Bertarung di Liga Primer membuat si pemain terekspos, tempat mengasah diri melawan yang terbaik dan membuka jalan ke jenjang karier yang lebih baik. Batu loncatan. Untuk pemain yang sudah dan sedang menurun, ia menjadi batu pijakan untuk menghela nafas sebelum akhirnya benar-benar pensiun.
Uang gelontoran Dave Whelan dan dari pendukung yang tidak seberapa memang hanya cukup untuk itu. Membiayai lalu lintas pergerakan pemain yang hendak naik dan hendak turun. Seberapapun upaya bisnis yang dilakukan, seberapapun upaya untuk membina pemain muda, seberapapun-apapun yang mereka lakukan, Wigan sepertinya sudah ditakdirkan seperti itu.
Tidaklah mengagetkan kalau sejarah delapan tahun kiprah Wigan di Liga Primer adalah sebuah keterengah-engahan. Timbul tenggelam di zona degradasi hingga akhirnya tahun ini betul-betul karam. Degradasi itu tentu saja membawa kesedihan yang sangat bagi mereka yang terkait dengan Wigan Athletic, dari pemain, pelatih, pemilik hingga pendukung.
Namun seperti juga kerelaan Wigan untuk menerima noktah kesialan yang melekat pada diri mereka, Wigan tidak mengeluhkan degradasi itu. Wigan tidak menyalahkan siapapun. Tidak pada ketidakberuntungan jadwal pertandingan yang harus mereka jalani, tidak pada cedera pemain belakang yang datang silih berganti sepanjang musim dan membuat pertahanan mereka lemah, tidak untuk alasan apapun juga. Mereka mencoba dan gagal. Titik.
Sikap Wigan yang seperti itu mendatangkan banyak simpati dari kalangan penggemar sepakbola Inggris. Dan simpati itu tidak melulu karena alasan sepakbola.
Bagi Anda yang mempunyai ketertarikan dengan Inggris (Raya) pasti tahu bahwa salah satu karakter utama bangsa ini, seperti tertulis dalam banyak buku, adalah do-ers -– dari kata do (melakukan). Terjemahan bebasnya mungkin bangsa yang bertindak-berusaha-bekerja-melakukan apapun hingga batas kemampuan.
Bangsa ini kemudian melengkapi karakter do-ersnya dengan apa yang dikenal dengan istilah a stiff upper lip -- bibir atas yang kaku atau mungkin lebih tepatnya dalam bahasa Indonesia menggigit bibir -- sebuah ungkapan yang berarti ketabahan menghadapi cobaan seberat apapun, kemampuan untuk menahan emosi ditengah kesialan dan ketidakberuntungan.
Ungkapan umum di Inggris do your best and let fate guide you (lakukan yang terbaik dan biar nasib yang menentukan) lahir dari kombinasi dua kualitas karakter ini. Mungkin terdengar rada-rada fatalistik dan jelas memberi nilai lebih pada usaha bukan hasil, tetapi siapakah kita yang hendak membantah ketika kombinasi dua karakter itu di masa lalu memberi sumbangan besar bagi Inggris Raya untuk membelah ombak dan menguasai dunia.
Wigan adalah personifikasi itu dalam persepakbolaan Inggris. Mereka berjuang walau sejak awal tahu telah terikat dengan sekian macam ketidakberuntungan. Mereka akhirnya gagal.
Nasib mengharuskan Wigan tercampak dari Liga Primer. Tapi toh di akhir nafas mereka di Liga Primer masih sempat-sempatnya menyubur-lestarikan makna tersirat dari do-ers dan stiff upper lip dalam persepakbolaan Inggris. Mereka memenangi Piala FA tahun ini.
Kita tahu Piala FA bagi sepakbola Inggris adalah simbol kesetaraan. Ajang kompetisi yang diikuti klub kelas kampung, amatir, semiprofesional, hingga profesional. Semua tumpah ruah menjadi satu.
Dengan menggunakan sistem gugur, di Piala FA ini terbuka kesempatan bagi yang miskin untuk mengalahkan yang kaya, yang amatir mengalahkan yang profesional, yang serba kekurangan mengalahkan yang serba berkecukupan. Di Piala FA, nasib sering berpihak kepada mereka yang serba kurang namun berusaha keras dan tabah. Sebuah romantisme ideal.
Ketika Wigan mengalahkan Manchester City yang lebih dalam segala hal di final Piala FA, seluruh Inggris kecuali pendukung Manchester City bersorak. Bukan untuk merayakan kemenangan Wigan. Bukan untuk merayakan kekalahan Manchester City. Mereka bersorak karena Wigan menyubur-lestarikan sebuah romansa: keberpihakan nasib kepada yang serba kurang namun berusaha keras dan tabah.
(detik.com)