- Back to Home »
- Berita Bola »
- Cerita Kenny Latham, Fans Liverpool yang Boyong 36 Anak Yatim ke GBK
Posted by : Unknown
Sabtu, 03 Agustus 2013
Jakarta - Ada satu cerita menarik dari
kunjungan Liverpool ke Jakarta beberapa waktu lalu. Seorang bule bernama
Kenny Latham membawa 36 anak yatim dari Bali ke Senayan untuk
menyaksikan langsung pertandingan klub Inggris itu.
"Saya merasakan sekali suasananya saat para penonton terus bernyanyi hymne You'll Never Walk Alone," tutur Kenny saat membuka obrolannya dengan beberapa media termasuk detiksport di Hotel Aston Rasuna, Jakarta, Jumat (2/8/2013) sore.
Kedatangan Kenny bersama 36 anak asal panti asuhan Salam itu bukan tanpa alasan. Sebagai fans berat Liverpool, Kenny yang menjadi salah satu pengurus di panti asuhan itu sempat berjanji akan membawa anak-anak asuhnya itu ke Senayan.
"Jika nanti Liverpool FC datang ke Indonesia, saya akan mengajak kalian untuk menonton pertandingannya secara langsung," kenang pria 48 tahun itu. Dan ketika klub itu benar-benar datang, ia pun tak mengingkari janjinya tersebut.
Jalan terjal dilaluinya. Karena keterbatasan uang, ia harus mencari dana ke sana sini. Rencananya itu terdengar sampai ke Inggris dan sebuah koran kota Liverpool, yaitu Liverpool Echo, menulisnya.
Hasilnya kemudian tidak sia-sia. Dari sejumlah donatur dan sponsor ia pun mendapatkan biaya untuk transportasi dan konsumi, plus tiket gratis.
"Saya di sini sangat berterima kasih kepada berbagai pihak yang mendukung. Standard Charter, pihak klub LFC dan pihak-pihak lain yang sudah mendukung," katanya.
Lahir di Liverpool pada 20 April 1965, sejak kecil Kenny sudah menyukai sepakbola, seperti anak laki-laki Inggris pada umumnya, dan masuk sebuah klub sepakbola di daerah tempat tinggalnya.
Kenny juga mengaku pernah mengecap klub liga amatir di Portugal, Skotlandia, dan Amerika Serikat, guna mengasah kemampuannya bersepakbola.
"Saat itu saya tidak masuk dalam liga utamanya, hanya main di liga amatir. Tapi liganya juga cukup bagus kok," katanya.
Semakin menginjak remaja ia pun mencanangkan mimpi menjadi pemain bola profesional dan bermain di divisi top. Sayangnya dia harus mengubur dalam-dalam keinginannya tersebut gara-gara mengalami cedera otot selangka saat latiha.
"Sebenarnya bisa dioperasi. Tapi kata dokter, dampaknya saya bisa tidak jalan lagi di umur 40. Saya tidak ingin ambil risiko, akhirnya saya memilih berhenti bermain," ujarnya.
Tak hanya cedera saja yang menjadi halangan mimpi besarnya. Kenny mengaku tubuhnya yang kecil membuatnya sulit untuk menjadi pemain profesional.
"Di Inggris ada kriteria tertentu tentang standar gizi pemain. Tubuh saya kecil, makanya tetap tak bisa masuk."
Demi menghibur diri ia pun memutuskan untuk cuti satu tahun. Libur dari rutinitasnya tak lantas membuat bapak dua anak ini berdiam diri. Ia sempat mengambil lisensi sebagai pelatih, dan setelah mendapatkannya ia hijrah ke Bali.
"Di Bali itu tak hanya berlibur, tapi saya juga kemudian bertemu dengan istri di sana," ucap dia seraya tersipu malu.
Selama 15 tahun tinggal di Bali tak membuat suami Komang Ardani ini membuang kesempatannya untuk mengejar passion-nya pada sepakbola.
"Kebetulan tempat tinggal saya itu di Kuta, berdekatan dengan panti asuhan Salam. Di sana mata saya benar-benar terbuka melihat anak-anak yang kekurangan. Dari situ saya memutuskan untuk menjadi pengurus panti dan melatih bola untuk anak-anak di sana."
Kenny mengatakan, ada sekitar 48 orang anak yang diasuhnya di panti tersebut: 22 anak perempuan, 26 laki-laki. Selain tak memiliki orangtua (bapak), anak-anak itu juga berasal dari kalangan tak mampu.
Di panti asuhan itu Kenny tak hanya mengajarkan soal bola, tapi juga menjadi bahasa Inggris dan memberikan motivasi hidup untuk bekal anak-anak di masa depan.
"Fokus saya saat ini bukan hanya menjadi pelatih, tapi mengayomi anak-anak supaya mereka tidak hanya bermain bola, tapi punya pengalaman hidup," ungkapnya.
"Anehnya", meski sudah belasan tahun tinggal di Bali, ia mengaku tidak kunjung cocok dengan makanan Indonesia.
"Saya tidak pernah makan masakan khas Indonesia, apapun itu. Entah itu nasi goreng, sate, atau makanan Indonesia lainnya. Dan saya tidak penasaran juga. Kalau mau makan, saya makan masakan istri saya, itu juga makanan western. Kalau makan di luar ya juga pilih restoran yang ada menu western,” tuturnya.
"Keanehan" lain dari dirinya adalah Kenny tak lancar berbahasa Indonesia. Ditanya alasannya, ia menjawab sambil sedikit terkekeh. "Malas," sahutnya.
"Justru yang sulit itu belajar bahasa Bali. Tapi kembali lagi, saya memang malas belajar bahasa Indonesia. Dan saya lebih senang berkomunikasi sehari-hari dengan bahasa inggris."
Di luar kebiasaan pribadinya itu, Kenny tetap memegang komitmennya untuk melanjutkan aktivitas sosialnya untuk anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya di Bali. Setelah mengurus panti asuhan, ia juga mendirikan sebuah yayasan bernama Liverpool Children of Indonesia.
"Kalau yayasan ini berjalan dengan baik, ya tentu saya akan buat klub juga. Untuk namanya mungkin saya akan buat Liverpool juga, tapi bukan Liverpool FC," selorohnya sambil tertawa.
(detik.com)
"Saya merasakan sekali suasananya saat para penonton terus bernyanyi hymne You'll Never Walk Alone," tutur Kenny saat membuka obrolannya dengan beberapa media termasuk detiksport di Hotel Aston Rasuna, Jakarta, Jumat (2/8/2013) sore.
Kedatangan Kenny bersama 36 anak asal panti asuhan Salam itu bukan tanpa alasan. Sebagai fans berat Liverpool, Kenny yang menjadi salah satu pengurus di panti asuhan itu sempat berjanji akan membawa anak-anak asuhnya itu ke Senayan.
"Jika nanti Liverpool FC datang ke Indonesia, saya akan mengajak kalian untuk menonton pertandingannya secara langsung," kenang pria 48 tahun itu. Dan ketika klub itu benar-benar datang, ia pun tak mengingkari janjinya tersebut.
Jalan terjal dilaluinya. Karena keterbatasan uang, ia harus mencari dana ke sana sini. Rencananya itu terdengar sampai ke Inggris dan sebuah koran kota Liverpool, yaitu Liverpool Echo, menulisnya.
Hasilnya kemudian tidak sia-sia. Dari sejumlah donatur dan sponsor ia pun mendapatkan biaya untuk transportasi dan konsumi, plus tiket gratis.
"Saya di sini sangat berterima kasih kepada berbagai pihak yang mendukung. Standard Charter, pihak klub LFC dan pihak-pihak lain yang sudah mendukung," katanya.
Lahir di Liverpool pada 20 April 1965, sejak kecil Kenny sudah menyukai sepakbola, seperti anak laki-laki Inggris pada umumnya, dan masuk sebuah klub sepakbola di daerah tempat tinggalnya.
Kenny juga mengaku pernah mengecap klub liga amatir di Portugal, Skotlandia, dan Amerika Serikat, guna mengasah kemampuannya bersepakbola.
"Saat itu saya tidak masuk dalam liga utamanya, hanya main di liga amatir. Tapi liganya juga cukup bagus kok," katanya.
Semakin menginjak remaja ia pun mencanangkan mimpi menjadi pemain bola profesional dan bermain di divisi top. Sayangnya dia harus mengubur dalam-dalam keinginannya tersebut gara-gara mengalami cedera otot selangka saat latiha.
"Sebenarnya bisa dioperasi. Tapi kata dokter, dampaknya saya bisa tidak jalan lagi di umur 40. Saya tidak ingin ambil risiko, akhirnya saya memilih berhenti bermain," ujarnya.
Tak hanya cedera saja yang menjadi halangan mimpi besarnya. Kenny mengaku tubuhnya yang kecil membuatnya sulit untuk menjadi pemain profesional.
"Di Inggris ada kriteria tertentu tentang standar gizi pemain. Tubuh saya kecil, makanya tetap tak bisa masuk."
Demi menghibur diri ia pun memutuskan untuk cuti satu tahun. Libur dari rutinitasnya tak lantas membuat bapak dua anak ini berdiam diri. Ia sempat mengambil lisensi sebagai pelatih, dan setelah mendapatkannya ia hijrah ke Bali.
"Di Bali itu tak hanya berlibur, tapi saya juga kemudian bertemu dengan istri di sana," ucap dia seraya tersipu malu.
Selama 15 tahun tinggal di Bali tak membuat suami Komang Ardani ini membuang kesempatannya untuk mengejar passion-nya pada sepakbola.
"Kebetulan tempat tinggal saya itu di Kuta, berdekatan dengan panti asuhan Salam. Di sana mata saya benar-benar terbuka melihat anak-anak yang kekurangan. Dari situ saya memutuskan untuk menjadi pengurus panti dan melatih bola untuk anak-anak di sana."
Kenny mengatakan, ada sekitar 48 orang anak yang diasuhnya di panti tersebut: 22 anak perempuan, 26 laki-laki. Selain tak memiliki orangtua (bapak), anak-anak itu juga berasal dari kalangan tak mampu.
Di panti asuhan itu Kenny tak hanya mengajarkan soal bola, tapi juga menjadi bahasa Inggris dan memberikan motivasi hidup untuk bekal anak-anak di masa depan.
"Fokus saya saat ini bukan hanya menjadi pelatih, tapi mengayomi anak-anak supaya mereka tidak hanya bermain bola, tapi punya pengalaman hidup," ungkapnya.
"Anehnya", meski sudah belasan tahun tinggal di Bali, ia mengaku tidak kunjung cocok dengan makanan Indonesia.
"Saya tidak pernah makan masakan khas Indonesia, apapun itu. Entah itu nasi goreng, sate, atau makanan Indonesia lainnya. Dan saya tidak penasaran juga. Kalau mau makan, saya makan masakan istri saya, itu juga makanan western. Kalau makan di luar ya juga pilih restoran yang ada menu western,” tuturnya.
"Keanehan" lain dari dirinya adalah Kenny tak lancar berbahasa Indonesia. Ditanya alasannya, ia menjawab sambil sedikit terkekeh. "Malas," sahutnya.
"Justru yang sulit itu belajar bahasa Bali. Tapi kembali lagi, saya memang malas belajar bahasa Indonesia. Dan saya lebih senang berkomunikasi sehari-hari dengan bahasa inggris."
Di luar kebiasaan pribadinya itu, Kenny tetap memegang komitmennya untuk melanjutkan aktivitas sosialnya untuk anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya di Bali. Setelah mengurus panti asuhan, ia juga mendirikan sebuah yayasan bernama Liverpool Children of Indonesia.
"Kalau yayasan ini berjalan dengan baik, ya tentu saya akan buat klub juga. Untuk namanya mungkin saya akan buat Liverpool juga, tapi bukan Liverpool FC," selorohnya sambil tertawa.
(detik.com)