- Back to Home »
- cerita dewasa »
- Aku Pernah Mencintaimu, Tapi Itu Dulu
Posted by : Unknown
Selasa, 12 Maret 2013
"Aku memang pernah mencintaimu Ndi, tapi itu dulu..." tegasku pada Andi di tengah gerimis dan dinginnya malam.
Sudah
beberapa hari ini ia terus mengejar jawaban ajakan balikan denganku.
Sebenarnya, dari sikapku saja seharusnya ia sudah tahu. Aku sudah muak
dengannya. Aku tak ingin kembali lagi padanya. Lukaku sudah terlalu
dalam, dan kurasa memang dia bukan sosok yang harus kupertahankan.
"Tapi
Win, pertimbangkan lagilah. Dulu aku memang bodoh telah meninggalkanmu.
Aku sadar, bahwa kaulah yang kucinta..." katanya lagi.
Mataku menerawang jauh, mengingat peristiwa dua tahun lalu saat aku ditinggalkan dengan hati yang penuh luka.
***
"Kamu
dipukul Andi lagi Win?" desak Wulan marah. Ia sudah bisa menebak, siapa
lagi yang akan membuat wajahku lebam jika bukan kekasihku yang
temperamen itu. Aku hanya terdiam. Aku tak sanggup menceritakan semua
kejadian pilu semalam.
Hanya gara-gara aku terlambat membalas
SMS-nya saja, ia marah-marah dan membentakku. Tangannyapun melayang,
mendarat tepat di wajahku. Seketika tubuhku limbung, dan Andi langsung
panik. Ia berkali-kali meminta maaf padaku. Mengaku bahwa ia khilaf (aku
sudah bosan mendengar kalimat khilafnya ini) dan berjanji tak akan
mengulanginya.
Entah aku yang mungkin terlalu bodoh, aku percaya
saja. Kuanggap memang Andi sedang belajar mengendalikan emosinya.
Mengendalikan dirinya yang ringan tangan itu. Aku begitu mencintainya,
sangat mencintainya.
"Aku nggak apa-apa kok Lan. Lagian Andi sudah
minta maaf. Aku memang yang salah," jelasku. "Tapi nggak bisa begini
dong. Masa tiap dia marah kamu selalu yang jadi sansaknya. Win, ini
namanya abuse! kekerasan! Kalau komnas wanita tahu, sudah dipenjara itu
si Andi," Wulan mendadak meledak-ledak panas penuh emosi. "Lan, tolong
jangan laporin yah. Dia sudah minta maaf kok, dan aku sudah
memaafkannya.
"Ah terserah kamulah, aku capek belain kamu dan kamu
malah nggak sadar juga." Wulan marah, kulihat perlahan punggungnya
menghilang di ujung jalan. Aku yang terdiam berpikir dan terus
menenangkan diriku sendiri. Sebenarnya aku sudah tak tahan lagi, tetapi
entah mengapa aku ingin bertahan, sekali lagi bertahan untuk Andi.
***
"Kali
ini Andi ke mana Win?" tanya Wulan saat aku merebahkan punggungku
setelah seharian mengumpulkan bahan untuk skripsi. "Katanya sih lagi
sibuk ngerjain skripsi juga Lan. Kenapa?" tanyaku balik. "Oh... skripsi.
Kamu sudah berapa lama nggak ketemu dia?" Pertanyaan Wulan seperti
menyimpan suatu penyelidikan. "Entah ya, aku sendiri nggak sadar.
Biasanya memang kami begitu. Nggak setiap hari jalan seperti pasangan
lain. Eumm... kalau kuingat-ingat, kayaknya sudah 2 minggu deh. Tapi kan
dia sibuk Lan, akunya juga, nanti juga kalau udah longgar pasti
ketemu," jelasku, yang aku juga sadar sebenarnya kalimat itu hanya untuk
menghiburku. Aku sendiri juga sebenarnya merasa ganjil, mengapa
kekasihku yang biasanya posesif itu mendadak rajin dan sibuk dengan
skripsinya?
"Kamu itu terlalu sabar Win.. terlalu bodoh. Punya kekasih yang emosian, suka mukul, nggak setia..."
"Nggak
setia apa maksudmu?" tanyaku. Cerita Wulan kemudian membuatku geram.
Ah, Wulan ini pasti mengada-ada. Mana mungkin Andi selingkuh, dia begitu
menyayangi dan protect pada aku.
Kepercayaanku pada Andi seketika
buyar, saat Wulan menunjukkan foto-foto mesra Andi dengan seorang yang
kukenal. Teman kampusku sendiri, tapi memang aku tak dekat dengannya.
"Kamu dapat dari mana?"
"Sudahlah.
Nggak penting aku dapat dari mana. Yang jelas, aku pengen kamu itu
nggak terluka lagi. Sudah jelas-jelas pria ini jahat sama kamu. Ngapain
kamu pertahanin Win?" Perkataan Wulan tajam, langsung menuju sasaran.
"Bisa
saja kamu salah orang Lan. Aku yakin, Andi nggak gitu kok" aku marah
dan meninggalkan Wulan sendiri di kamarnya. Kembali ke kamarku dengan
sejuta pertanyaan dan amarah yang aku sadar sudah terkumpul dan mulai
meluap. Andi... apa benar apa yang dikatakan Wulan tentangmu? Tanyaku
dalam hati.
Aku membiarkan pertanyaan itu tersimpan, dan masih dengan sabar menunggu kekasihku...
***
Sudah
sebulan aku menunggunya, tak ada kabar. Telepon, SMS, tak satupun
kudapatkan jawaban. Bahkan, aku sulit sekali bertemu dia di kampus, atau
di rumah kosnya. Ke mana dia?
Hari demi hari, perkataan Wulan
sepertinya bukan hanya sekedar wujud dari rasa ketidaksukaan dirinya
pada Andi. Sudah 2 minggu lamanya aku dan Wulan juga menjaga jarak,
tidak bicara. Aku masih membela Andi, yang jelas-jelas sebulan
menghilang.
Aku merasa bodoh. Sangat bodoh. Sore ini aku akan
mencari Wulan dan meminta maaf padanya. Soal Andi, entahlah, mungkin ini
jalan yang terbaik agar aku bisa lepas darinya.
Akupun mengambil
langkah menuju rumah kosku, berharap segera mendapatkan keteduhan karena
terik sinar matahari membuatku lelah dan haus. Hanya beberapa langkah
dekat tempat tinggalku, aku mengenali sesosok pria yang tengah duduk di
atas motornya.
Andi. Dalam hati aku girang, sekaligus berharap di
tengah dilema yang sedang kualami. Terbayang bagaimana sikap
temperamennya, dan bagaimana dalam hati sebenarnya aku juga ingin lari
darinya. Tetapi, rasa cintaku kali itu membuatku buta. Aku berlari kecil
menghampirinya dan memeluknya.
"Kamu ke mana aja sih?" tanyaku manja.
Tubuhku
didorong hingga jatuh ke jalan. "Aku muak sama kamu. Kamu itu kekasih
macam apa sih? Kamu nggak juga nyari aku sekalipun aku nggak datang.
Kamu punya kekasih lain? Hah?" Dilayangkannya lagi sebuah bogem mentah
ke wajahku. "Ndi, sakit Ndi!" teriakku berusaha berdiri dan kabur.
"Mau
ke mana kamu? Mau kabur dan pergi ke kekasihmu itu?" diraihnya tanganku
dengan kasar. Aku tak tahan. Aku berteriak dan berusaha lepas.
"Lepasinnnn! Apa-apaan sih kamu menuduh yang nggak-nggak? Bukannya kamu
yang pergi dengan Cynthia? Aku sudah mencari kamu ke mana-mana, aku
nggak pernah pergi. Aku selalu menunggu. Kamu yang nggak pernah datang."
Sekali
lagi aku ditamparnya. Suara keributanku dengan Andi mengundang
perhatian seisi kosku. Wulan langsung berlari menghadang Andi. Dan
teman-temanku lainnya berusaha mengusir Andi dengan segala benda yang
dibawanya.
"Kamu nggak apa-apa Win?" tanya Wulan. Aku menangis di
pelukannya. Aku tak tahu lagi harus berbicara apa. Kekasih yang kucinta
itu mungkin sudah hilang akalnya. Aku sampai seperti tak mengenalinya.
Aku tak tahu kenapa ia yang menghilang justru marah dengan tak logis.
"Sudah
Win, sudah. Kita ke dalam yuk..." kata Wulan dan teman-teman
menenangkanku. Di dalam, aku dirawat dan dibantu mengompres lukaku.
Kudengar dari teman-teman, katanya Cynthia memutuskan Andi. Dan mungkin
hal itu membuatnya emosi, sehingga ia mencari perkara untuk melampiaskan
emosinya kepadaku.
Aku tak mengerti, kenapa harus aku yang
dicari. Tapi mungkin karena sikapku yang terlampau nerimo. Diam atas
semua tindakan kasar yang dilakukannya kepadaku.
Aku sadar. Andi
salah, tetapi aku jauh lebih salah karena telah membiarkan kekerasan
fisik yang dilakukannya terhadapku malah kututupi dan kubiarkan semakin
merajalela. Sejak hari itu, pergi ke mana-mana aku tak boleh sendirian.
Teman-teman selalu menjagaku, dan melindungiku.
Aku masih terlalu
takut mengambil tindakan untuk melaporkan Andi. Sejenak aku ingin tenang
dan melupakan saja masalah ini. Aku hanya berharap, ia tak menampakkan
batang hidungnya lagi.
***
Dua
tahun berlalu. Tanpa sengaja dua minggu lalu aku bertemu dengan Andi.
Sejak saat itu, dia berusaha menyambung kembali silahturahmi. Namun,
bayangan masa lalu begitu membuatku takut.
Aku masih berusaha bersikap sopan terhadapnya. Aku menghindar, aku sangat takut.
Sampai akhirnya hari ini, aku bertemu dengannya, luka yang perlahan mulai sembuh itu seketika sakit lagi.
"Aku benar-benar minta maaf Win. Aku salah. Kamu masih sayang aku kan?" Andi berlutut dan berusaha bersimpuh di kakiku.
Aku
melompat, menjauh darinya. "Aku sudah katakan padamu, Ndi. Aku memang
pernah mencintaimu, tapi itu dulu! Kini aku sudah tak punya perasaan
apapun. Tolong... aku hanya ingin menjalani hidupku," kataku berusaha
pergi darinya.
Ia terdiam. Wajahnya memerah. Kakiku terasa berat
seperti terpaku. Aku ingat wajah itu, aku ingat raut muka itu. Raut muka
marah yang siap menghujaniku dengan bogem mentahnya. Aku... aku...
***
Aku
tersadar di sebuah ruangan asing yang penuh dengan aroma obat-obatan.
Aku berusaha bangun, tetapi tubuhku terasa sakit semua. Dio segera
menghampiriku. "Kamu sudah siuman?" dibelai dan digenggamnya tanganku.
"Aku di mana?"
"Kamu
berada di bawah penanganan dokter. Sudah tiga hari kamu tidak sadarkan
diri. Seorang bapak tua menemukanmu di dekat blok rumah. Kamu langsung
dibawa ke rumah sakit karena tubuhmu penuh luka hantaman. Ada beberapa
luka tusukan juga di perutmu, sehingga perutmu harus dijahit. Syukurlah,
kamu cepat mendapatkan pertolongan sehingga kamu nggak kehilangan
banyak darah..." jelas Dio membuatku tercengang. Jadi, dia melakukannya
lagi. Dia tega melakukannya lagi...
"Aku... ini bukan perampokan
Dio. Aku tahu siapa pelakunya. Aku tak akan diam lagi kali ini. Aku
harus melaporkannya..." kataku lirih sambil berlinang air mata.
Seharusnya
tindakan melaporkan Andi sudah kulakukan sejak dulu. Tidak
kutahan-tahan, dan kuanggap selesai begitu saja. Andi yang kupercaya
akan berubah seiring waktu, tak jua menunjukkan penyesalannya. Ia tetap
Andi yang sama, selama ia tak mendapatkan hukuman dan disadarkan.
Teman...
apabila kamu mengalami hal yang sama sepertiku. Aku berharap kamu tidak
diam saja. Segera lakukan pelaporan pada pihak yang berwenang. Dan
Komnas Perempuan juga tidak akan membiarkan kekerasan ini terulang lagi
padamu. Jangan takut ya, agar kau bisa terbebas dari kekerasan fisik
seperti yang aku alami.
Punya masalah yang sama? Adukan ke PENGADUAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN - KOMNAS PEREMPUAN