- Back to Home »
- Tips Cinta »
- Kutunggu Kau di Persimpangan Hatimu
Posted by : Unknown
Sabtu, 06 April 2013

Namaku Aulia. Usiaku 23 tahun dan dianggap sebagai wanita yang cukup
umur untuk menikah . Bagiku, sebenarnya pendidikan masih jauh lebih
penting ketimbang pernikahan. Aku masih ingin melihat luasnya dunia. Aku
masih ingin menjelajahi tanah Indonesia. Aku ingin mencicipi lezatnya
masakan di ujung kepulauan Indonesia. Dan impianku sekejap punah karena
aku dikirim ke rumah Budhe di Jogja untuk diperkenalkan pada Mas Bayu,
calon suamiku.
Lulus kuliah, aku tak diijinkan mencari kerja. Aku
diminta tinggal bersama Budhe dengan alasan menemani beliau. Padahal,
setahuku Budhe adalah orang yang mandiri dan tidak suka merengek manja.
Bagi beliau hidup sendiri sudah dijalani selama 10 tahun ini. Semenjak
Pak De meninggal karena penyakit kanker paru-paru dulu, Budhe memutuskan
untuk tetap sendiri dan menjalankan usaha kerajinan tangan keluarga.
Mas
Bayu. Aku tak tahu apa-apa tentang dirinya. Yang kutahu ia sudah
dijodohkan denganku dan akan segera dinikahkan setelah semua
dipersiapkan.
Di jaman modern ini, masih saja ada perjodohan?
Aku
menghela nafas setiap kali pertanyaan itu terlintas di benakku. Namun,
jujur saja, untuk menentang kemauan orang tuaku, aku tak berani. Aku
termasuk anak penurut yang takut kualat apabila perkataan orang tua tak
dituruti. Sebenarnya, orang tuaku sendiri termasuk orang yang modern.
Pemikiran mereka cukup maju hingga menyekolahkan anak-anaknya sampai
tingkat perguruan tinggi. Selama ini, aku juga tak pernah merasa
dikekang dalam pergaulan maupun aktivitasku. Aku diberi kebebasan,
kebebasan yang sangat aku hormati, kecuali pernikahan.
***
"Ini
demi kebaikan dirimu juga, nduk. Sekarang ini mencari suami itu
susahnya bukan main. Apalagi mencari suami yang punya kepribadian baik
dan bagus. Kami rasa, Bayu adalah pendamping yang cocok buatmu. Kami
telah mengenal keluarganya sejak kami masih remaja dulu..." ungkap ibu
sambil mengelus kepalaku.
Aku terdiam tak bicara. Aku hanya
menikmati kasih ibu yang aku tahu itu tulus sekalipun satu hal ini
sengaja dipaksakannya kepadaku.
Pikiranku buntu. Aku tak tahu harus berbuat apalagi selain menuruti kemauan dua orang tuaku.
Untungnya
saat itu aku tengah sendiri. Tak punya kekasih, tak ada gebetan. Yang
kumau sebenarnya hanyalah berpetualang. Mencicipi bagaimana sulitnya
bekerja pada atasan yang tak mau disalahkan, terjun pada pekerjaan yang
sesuai dengan bidang kuliahku, berkenalan dan mungkin berselisih paham
dengan rekan kerjaku. Sayangnya semua tinggal bayangan saja. Besok pagi,
aku sudah tak tinggal di rumahku lagi dan menghirup udara Jogja.
***
"Nduk,
Lia... aduh, cantiknya kamu sekarang. Sudah berapa lama sih Budhe tidak
bertemu kok kamu sangat berbeda ya. Budhe kangen!" sambut Budhe dengan
ramah dan langsung menghujaniku dengan pelukan dan ciuman.
Budhe
memang orang yang sangat keibuan dan penyayang. Untuk itu pula aku
sedikit merasa tentram, karena aku tahu aku tak akan kehilangan kasih
sayang dan perhatian. Ada Budhe yang akan menjagaku. Ada Budhe yang akan
sedikit meringankan kegalauan hatiku.
Setelah beristirahat, Budhe
mengajakku makan malam di pendopo belakang rumah. Kulihat hiruk pikuk
beberapa orang sedang menyiapkan masakan. Layaknya seperti ada tamu
besar yang akan datang.
Kucuri dengar, tampaknya Bayu dan keluarganyalah yang akan datang.
Apakah secepat itu?
Jantungku
langsung berdegup kencang. Kaki lemas tak berdaya. Belum usai kegalauan
hatiku, tiba-tiba aku akan dihadapkan pada calon suamiku.
Dalam
bayanganku, akan dikenalkan sosok lelaki berkumis dengan tubuh kurus dan
lemah. Orang yang dalam pikirannya hanya bekerja sehingga ia lupa
memperluas pergaulan dan menikah. Yah, mungkin untuk itulah aku
dijodohkan dengannya. Agar ia cepat menikah dan punya keturunan.
Ahh... susahnya jadi wanita.
***
Disiapkan
baju kebaya modern oleh Budhe yang segera kukenakan dan ukurannya pas.
Kuacungi jempol untuk Budheku, karena beliau punya selera yang bagus
dalam hal fashion. Aku jadi merasa seperti sedang memakai kebaya
desainer terkenal. Hebat juga Budhe dalam menyenangkan hati dan
menghiburku. Sedikit membuatku tenang dan mengumpulkan keberanianku.
Aku
melangkah ke pendopo dan buru-buru duduk di dekat Budhe tanpa
memperhatikan sekelilingku. Aku lebih banyak duduk, dan kudengar Budhe
serta seorang wanita lain terkikik melihatku. "Rupanya anaknya pemalu
ya, Mbakyu..."
Berakhir dengan kalimat itu, kamipun melanjutkan
makan malam kami dengan Budhe yang lebih banyak berbicara. Rupanya ia
tahu hatiku gelisah dan tak nyaman. Aku diberi kebebasan untuk diam dan
menunggu makan malam selesai.
Yang tak kusangka, aku ditinggal di
pendopo bersama seseorang yang sedari tadi sepertinya memperhatikanku.
Aku tak berani mengangkat kepala dan melihatnya.
"Perkenalkan, namaku Bayu. Kamu pasti Aulia kan?" sapanya sopan.
Aku
beranikan mendongakkan kepala dan melihat wajahnya. Aku tak ingin dicap
sebagai wanita yang tidak sopan, apalagi aku belajar banyak tata krama
dan berpendidikan.
"Iya, perkenalkan, namaku Aulia."
Kujabat erat tangannya yang hangat. Dan seketika itu rasa gugupku lumer oleh kehangatannya.
Ia
tak seperti bayanganku. Mas Bayu lebih seperti kakak-kakak tingkat yang
dewasa dan sudah punya pengalaman kerja. Usianya memang 6 tahun di
atasku. Ia pria matang yang mungkin didambakan semua wanita seusiaku.
Jujur
aku terkejut. Tak kusangka ia akan semuda itu. Kupikir, ibu dan ayahku
sudah kelewat batas menjodohkan aku dengan seorang lelaki tua yang
mendambakan keturunan.
Kamipun terkikik dan larut dalam perbincangan seru. Demikianlah malam perkenalanku.
***
Mengenal
Mas Bayu yang menyenangkan, di sebagian sisi hatiku masih merasa tak
terima dengan aku dijodohkan. Mungkin hal itu disebabkan karena
teman-teman yang selalu kasak kusuk soal kata 'perjodohan'. Menurut
mereka, di jaman modern hendaknya sudah tak ada lagi perjodohan.
Dibakar
api emosi, aku sedikit membatasi diri dan komunikasi dengan calon
suamiku. Aku dilema, aku bingung, apakah aku harus lari atau menjalani
rencana keluargaku ini.
"Aku tahu kekhawatiranmu. Dan aku juga
paham bagaimana kamu merasa tidak nyaman dengan cara kita dipertemukan,"
kata Mas Bayu sore itu.
Genap tiga bulan kami bertemu, masih saja aku merasa tak nyaman dan kuungkapkan keberatanku pada Mas Bayu.
"Iya.
Maaf mas, tetapi memang caranya itu yang aku tidak nyaman. Aku merasa
seperti tidak diberi kebebasan. Sebagai wanita, aku ingin tetap diberi
kesempatan mencicipi ini itu. Aku ingin bepergian. Aku ingin merasakan
bekerja di sini dan di situ. Aku ingin berbagi cerita suka dan duka
seperti teman-temanku lainnya. Aku hanya ingin hidup normal!" kataku
penuh emosi.
Mas Bayu terpekur melihatku. Terdiam beberapa saat.
"Aulia...
pertama kali aku mendengarkan namamu, hatiku bergetar. Pertama kali
melihatmu, jantungku serasa berhenti berdetak. Aku jatuh cinta. Dengan
cara konyol yang kita sebut perjodohan tadi. Dan apabila kamu memang
masih ragu... ijinkan aku menunggumu di persimpangan hatimu. Sampai kau
merasa cukup yakin akan melangkah bersamaku. Akan kuberi kau kebahagiaan
dan kebebasan itu, sekalipun kita terikat dalam sebuah pernikahan.
Pernikahan, Aulia... bukan perjodohan yang harus menjadi fokus
pemikiranmu..."
Kalimatnya tidak terlalu panjang. Tidak ngotot, tidak emosi. Dan menenangkan.
Iya,
aku terlalu terbeban dengan kata perjodohan. Yang padahal keadaannya
juga tak seburuk seperti yang ada di film-film. Sekalipun dikenalkan
melalui perjodohan, ia orang yang mengagumkan. Ia bukan sosok pria tua
yang telah kehilangan kesempatan untuk menjalin asmara. Ia adalah sosok
pria idaman dan impian banyak wanita. Dan... mungkin diam-diam aku juga
jatuh cinta padanya.
***
Menunggu
di persimpangan hatiku, dalam dilema dan kegundahanku. Tiga bulan
berikutnya kami menikah dengan ketulusan dan kemauan hati kami berdua.
Aku tak lagi merasa dijodohkan. Aku berterima kasih karena Mas Bayu
dengan sabar mau menungguku. Mau mengerti dilemaku.
Yang aku paham
sekarang, kau tak akan pernah tahu bagaimana cara dipertemukan dengan
seseorang yang akhirnya kau pilih menjadi pasangan hidupmu. (vemale.com)




