- Back to Home »
- Berita Populer »
- Rivalitas Mendarah Daging dari Galangan Kapal
Posted by : Unknown
Senin, 29 April 2013
Klub olahraga manapun, termasuk sepakbola, tentu tidak
hanya terdiri dari pemain, pelatih, dan staf manajemen di dalamnya.
Keberadaan suporter atau pendukung tentu menjadi satu sisi yang tidak
bisa dilepaskan begitu saja.
Sepakbola, di negara asalnya, Inggris tentu menjadi salah satu olahraga yang menjadi favorit banyak warganya. Tak ayal, kegiatan rutin menyaksikan pertandingan sepakbola di akhir pekan bersama keluarga, menjadi sebuah tradisi bagi beberapa sebagian besar masyarakat di kota-kota di Inggris.
Dari sekian banyak suporter atau pendukung tim sepakbola, di negeri Ratu Elizabeth tersebut ada sebagian kelompok yang mengklaim mereka menganut paham hooliganisme.
Sejatinya, Hooligans –orang penganut paham hooliganisme sepakbola- memiliki tujuan utama yang sama dengan para suporter sepakbola biasa, yakni sama-sama memberikan dukungan untuk suatu tim sepakbola.
Hooliganisme sepakbola merujuk pada apa yang secara luas dianggap sebagai perilaku nakal dan merusak oleh penggemar sepak bola yang terlalu bersemangat. Tindakan seperti berkelahi, vandalisme dan intimidasi yang ditetapkan oleh asosiasi suporter sepak bola yang berpartisipasi dalam hooliganisme sepakbola.
Perilaku ini sering didasarkan pada persaingan antara tim yang berbeda dan konflik dapat terjadi sebelum atau setelah pertandingan sepak bola. Peserta sering memilih lokasi jauh dari stadion untuk menghindari penangkapan oleh polisi, tetapi konflik juga bisa meletus secara spontan di dalam stadion atau di jalan-jalan sekitarnya.
Hooliganisme sepakbola di permainan modern diduga terjadi selama tahun 1880-an di Inggris, suatu periode ketika geng suporter akan mengintimidasi sebuah lingkungan, selain menyerang wasit, suporter lawan dan pemain.
Pada tahun 1885, setelah Preston North End mengalahkan Aston Villa 5-0 dalam pertandingan persahabatan, kedua tim dilempari dengan batu, diserang dengan tongkat, dipukul, ditendang.
Berbicara tentang Hooligans, rivalitas antara kedua supporter yang paling mendarah daging adalah antara kelompok pendukung klub West Ham United dan Millwall.
Saking panasnya rivalitas antara dua kelompok ini, pada tahun 2005 dibuat film berjudul “Green Street” yang menjadikan perseteruan kedua kelompok suporter ini menjadi latar belakang utama.
Bukan rahasia lagi, setiap kedua tim bertemu, perkelahian suporter seperti menjadi harga mati. Ternyata rivalitas antara kedua klub ini terjadi sejak abad 19.
Rivalitas London timur itu berawal dari persaingan para pekerja di galangan kapal yang ada di dua sisi Sungai Thames. Millwall didirikan para pekerja di Isle of Dogs, sebuah kawasan berliku di sepanjang Sungai Thames di East End London, sekitar tahun 1885.
Sepuluh tahun kemudian sejumlah mandor di pabrik pembuatan kapal Thames Ironworks and Shipbuilding Company membuat klub tandingan yang diberi nama Thames Ironworks Football Club, yang kemudian berubah jadi West Ham United. Tujuannya untuk meningkatkan moral para pekerjanya.
Persaingan di bisnis perkapalan dibawa ke dalam lapangan. Fanatisme kedaerahan dan dukungan kepada masing-masing perusahaan diwujudkan dalam bentuk kerusuhan dan makian saat kedua tim bertemu.
Perseteruan makin memucak setelah terjadi pemogokan umum di pelabuhan Inggris tahun 1926. Pemogokan dipelopori pendukung West Ham, sementara pendukung Millwall menolak ikut dalam aksi itu. Sejak itu, rivalitas antara mereka berlanjut hingga sekarang.
Bukan suatu pemandangan yang aneh kalau lebih banyak polisi dibandingkan dengan pendukung tandang saat keduanya bertemu. Karena kekerasan adalah nama tengah dari East London Derby ini.
Pertandingan dua klub yang terpisah oleh sungai Thames ini selalu berlangsung panas dan ricuh. Kericuhan terbesar terjadi pada tahun 1976 ketika salah satu suporter Millwall bernama Ian Pratt meninggal di stasiun kereta api New Cross setelah terjatuh dari kereta saat berkelahi fisik dengan beberapa suporter West Ham.
Sejak kejadian tersebut, suporter Millwall menyatakan bahwa salah satu suporter West Ham harus mati untuk membalas kematian Pratt. Nyawa dibayar nyawa, kira-kira demikian prinsip yang mereka terapkan.
Bila dirunut dari pertemuan kedua tim dalam sejarah, yang dimulai dari musim 1929/1930 hingga saat ini, mereka total bertemu sebanyak 26 kali. West Ham masih mendominasi rekor dengan total mencapai kemenangan sebanyak 10 kali, sedangkan Millwall lima kali, sisanya seri.
West Ham dan Millwall terakhir bertemu pada 4 Februari 2012 di pekan 19 saat keduanya masih tergabung di divisi Championship. Di akhir musim, The Hammers mampu finis di peringkat tiga dan berhak untuk naik kasta ke Premier League. Sedangkan saat itu Millwall hanya mampu menempati peringkat 16.
Dan musim ini, West Ham dan Millwall berada di kompetisi yang berbeda sehingga tidak bisa bertemu. Meskipun hanya berpredikat sebagai klub Championship, namun prestasi Millwall musim ini bisa dibilang cukup baik karena mereka mampu menembus babak semifinal piala FA dan langkahnya harus terhenti oleh Wigan Athletic. (okezone.com)
Sepakbola, di negara asalnya, Inggris tentu menjadi salah satu olahraga yang menjadi favorit banyak warganya. Tak ayal, kegiatan rutin menyaksikan pertandingan sepakbola di akhir pekan bersama keluarga, menjadi sebuah tradisi bagi beberapa sebagian besar masyarakat di kota-kota di Inggris.
Dari sekian banyak suporter atau pendukung tim sepakbola, di negeri Ratu Elizabeth tersebut ada sebagian kelompok yang mengklaim mereka menganut paham hooliganisme.
Sejatinya, Hooligans –orang penganut paham hooliganisme sepakbola- memiliki tujuan utama yang sama dengan para suporter sepakbola biasa, yakni sama-sama memberikan dukungan untuk suatu tim sepakbola.
Hooliganisme sepakbola merujuk pada apa yang secara luas dianggap sebagai perilaku nakal dan merusak oleh penggemar sepak bola yang terlalu bersemangat. Tindakan seperti berkelahi, vandalisme dan intimidasi yang ditetapkan oleh asosiasi suporter sepak bola yang berpartisipasi dalam hooliganisme sepakbola.
Perilaku ini sering didasarkan pada persaingan antara tim yang berbeda dan konflik dapat terjadi sebelum atau setelah pertandingan sepak bola. Peserta sering memilih lokasi jauh dari stadion untuk menghindari penangkapan oleh polisi, tetapi konflik juga bisa meletus secara spontan di dalam stadion atau di jalan-jalan sekitarnya.
Hooliganisme sepakbola di permainan modern diduga terjadi selama tahun 1880-an di Inggris, suatu periode ketika geng suporter akan mengintimidasi sebuah lingkungan, selain menyerang wasit, suporter lawan dan pemain.
Pada tahun 1885, setelah Preston North End mengalahkan Aston Villa 5-0 dalam pertandingan persahabatan, kedua tim dilempari dengan batu, diserang dengan tongkat, dipukul, ditendang.
Berbicara tentang Hooligans, rivalitas antara kedua supporter yang paling mendarah daging adalah antara kelompok pendukung klub West Ham United dan Millwall.
Saking panasnya rivalitas antara dua kelompok ini, pada tahun 2005 dibuat film berjudul “Green Street” yang menjadikan perseteruan kedua kelompok suporter ini menjadi latar belakang utama.
Bukan rahasia lagi, setiap kedua tim bertemu, perkelahian suporter seperti menjadi harga mati. Ternyata rivalitas antara kedua klub ini terjadi sejak abad 19.
Rivalitas London timur itu berawal dari persaingan para pekerja di galangan kapal yang ada di dua sisi Sungai Thames. Millwall didirikan para pekerja di Isle of Dogs, sebuah kawasan berliku di sepanjang Sungai Thames di East End London, sekitar tahun 1885.
Sepuluh tahun kemudian sejumlah mandor di pabrik pembuatan kapal Thames Ironworks and Shipbuilding Company membuat klub tandingan yang diberi nama Thames Ironworks Football Club, yang kemudian berubah jadi West Ham United. Tujuannya untuk meningkatkan moral para pekerjanya.
Persaingan di bisnis perkapalan dibawa ke dalam lapangan. Fanatisme kedaerahan dan dukungan kepada masing-masing perusahaan diwujudkan dalam bentuk kerusuhan dan makian saat kedua tim bertemu.
Perseteruan makin memucak setelah terjadi pemogokan umum di pelabuhan Inggris tahun 1926. Pemogokan dipelopori pendukung West Ham, sementara pendukung Millwall menolak ikut dalam aksi itu. Sejak itu, rivalitas antara mereka berlanjut hingga sekarang.
Bukan suatu pemandangan yang aneh kalau lebih banyak polisi dibandingkan dengan pendukung tandang saat keduanya bertemu. Karena kekerasan adalah nama tengah dari East London Derby ini.
Pertandingan dua klub yang terpisah oleh sungai Thames ini selalu berlangsung panas dan ricuh. Kericuhan terbesar terjadi pada tahun 1976 ketika salah satu suporter Millwall bernama Ian Pratt meninggal di stasiun kereta api New Cross setelah terjatuh dari kereta saat berkelahi fisik dengan beberapa suporter West Ham.
Sejak kejadian tersebut, suporter Millwall menyatakan bahwa salah satu suporter West Ham harus mati untuk membalas kematian Pratt. Nyawa dibayar nyawa, kira-kira demikian prinsip yang mereka terapkan.
Bila dirunut dari pertemuan kedua tim dalam sejarah, yang dimulai dari musim 1929/1930 hingga saat ini, mereka total bertemu sebanyak 26 kali. West Ham masih mendominasi rekor dengan total mencapai kemenangan sebanyak 10 kali, sedangkan Millwall lima kali, sisanya seri.
West Ham dan Millwall terakhir bertemu pada 4 Februari 2012 di pekan 19 saat keduanya masih tergabung di divisi Championship. Di akhir musim, The Hammers mampu finis di peringkat tiga dan berhak untuk naik kasta ke Premier League. Sedangkan saat itu Millwall hanya mampu menempati peringkat 16.
Dan musim ini, West Ham dan Millwall berada di kompetisi yang berbeda sehingga tidak bisa bertemu. Meskipun hanya berpredikat sebagai klub Championship, namun prestasi Millwall musim ini bisa dibilang cukup baik karena mereka mampu menembus babak semifinal piala FA dan langkahnya harus terhenti oleh Wigan Athletic. (okezone.com)