- Back to Home »
- Berita Populer »
- Kehendak Guratan Sejarah Roman Abramovich
Posted by : Unknown
Jumat, 31 Mei 2013
Chelsea di bawah kepemilikan Roman Abramovich adalah sebuah anomali.
Sebuah kisah akan segala sesuatu yang serba berlebihan. Kesadaran akan
sebuah agenda yang segera tetapi keuntungannya mungkin baru akan
terasakan puluhan tahun kedepan.
Dari awal, cerita keterlibatan Abramovich dengan Chelsea saja sudah seperti dongeng. Cerita resmi yang beredar adalah bahwa ketika ia tertarik untuk membeli klub bola di Inggris, ia meminta sebuah bank investasi UBS Warburg untuk membuat daftar klub potensial layak beli dan bisa berkembang menjadi kerajaan bisnis.
Teratas di daftar tercatat nama Manchester United, tapi konon terlalu mahal dan potensi resistensi oleh penggemarnya membuat klub ini menjadi tak menarik dari banyak segi.
Singkat cerita, pilihan akhirnya jatuh ke Tottenham Hotspur atau Chelsea. Dari dua klub London ini pilihan jatuh ke Chelsea karena pemilik klub lebih gampang didekati dan bersedia berunding. Berbeda dengan Tottenham, Chelsea di bawah kepemilikan Ken Bates kala itu memang sedang dirundung utang yang tidak sedikit dan sedang mencari pembeli.
Namun, cerita lain (tidak resmi) yang beredar tidaklah sedingin kalkulasi bisnis itu. Konon Abramovich sebenarnya tak menjadikan daftar yang dibuat UBS Warburg sebagai satu-satunya pegangan. Atau bahkan daftar dari UBS Warburg itu belum ada sama sekali ketika ia berpikir untuk membeli sebuah klub sepakbola. Ia suatu saat hendak pergi melihat-lihat sebuah klub di Inggris Utara, tidak disebut klub yang mana, karena tertarik untuk membelinya.
Ketika helikopter yang membawanya dari London mengudara lewat di atas Stamford Bridge, dan dijelaskan bahwa itu stadion Chelsea, ia membatalkan penerbangan dan hatinya tiba-tiba tertetapkan untuk membeli klub London Barat itu. Entah ia jatuh cinta, atau otak bisnisnya melihat sesuatu, atau dua-duanya pada saat bersamaan.
Mana cerita yang benar tidaklah terlalu penting. Yang jelas, pada tanggal 2 Juli 2003 Roman Abramovich resmi menjadi pemilik tunggal Chelsea. Dan torehan sejarah baru Chelsea pun dimulai.
Tak lebih sebulan setelah pembelian itu, Abramovich yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal publik Inggris, membuat langkah yang menggetarkan bukan hanya publik sepakbola Inggris tetapi juga Eropa. Ia mengizinkan pembelanjaan pemain hingga lebih 100 juta poundsterling sekali jalan, terbesar dalam sejarah persepakbolaan Eropa. Belum pernah ada klub "segila" Chelsea dalam hal pembelanjaan pemain. Itu hanyalah awal. Pembelanjaan itu menandai sebuah zaman baru dalam hal kepemilikan dan pengelolaan klub di Eropa.
Sebelum Abramovich dengan Chelseanya, sebenarnya sudah ada orang kaya yang bertindak serupa. Bernard Tapie dengan Olympic Marseille, Silvio Berlusconi dengan AC Milan atau keluarga Agnelli dengan Juventus. Gaya yang tak jauh berbeda dilakukan oleh Real Madrid tetapi dengan dukungan pemerintah Madrid (atau Spanyol), maupun Barcelona dengan dukungan anggota klub (rakyat Catalunya).
Namun, skala pembelanjaan mereka tak seberapa dibanding Abramovich. Dan mereka yang sebelum-sebelum Abramovich masih mempertimbangkan persoalan bisnis, menghitung pemasukan dan pembelanjaan, tidak semata persoalan meraih prestasi di lapangan. Abramovich seperti tak mempedulikan hal itu.
Semenjak membelanjakan 100 juta poundsterling pertamanya, entah sudah berapa ratus juta lainnya ia belanjakan untuk Chelsea, dari pembelian pemain, personel organisasi untuk menjalankan klub hingga memperbaiki fasilitas klub.
Kesukaannya untuk menyewa manajer/pelatih yang dianggap jagoan dan kemudian memecatnya bila dianggap tak sesuai dengan kemauannya juga legendaris. Ia (seperti) tak peduli dengan jutaan poundsterling uang kompensasi yang harus dikeluarkan untuk membajak mereka atau memberi pesangon ketika memecat. Selama 10 tahun Chelsea di bawah Abramovich, 10 pula jumlah manajer yang telah ia sewa.
Berbagai kritik datang dari berbagai penjuru terhadap gaya pengelolaan Abramovich ini. Chelsea adalah contoh pengelolaan klub yang salah, begitu inti kritik itu. Dari persoalan besar pasak pengeluaran daripada tiang pemasukan, lebih senang membeli pemain jadi daripada membina pemain muda, meraih kesuksesan instan (seketika) ketimbang sabar tapi berkelanjutan, hingga kekhawatiran akan kehidupan Chelsea sebagai sebuah klub kalau Abramovich tiba-tiba bosan dan menjualnya.
Saya bukan pendukung Chelsea ataupun Abramovich, tetapi termasuk di antara sedikit yang mencoba melihatnya dari perspektif yang berbeda. Bagi saya titik awalnya adalah kekayaan yang seperti tak terukur dari Abramovich ini.
Untuk perbandingan, sebagai perusahaan, Manchester United dan Arsenal adalah yang paling sehat di Inggris ini. Mereka menjadi teladan pengelolaan klub yang baik dan benar. Tetapi kesehatan Manchester United membawa sial bagi dirinya sendiri ketika keluarga Glazer berutang ke sebuah konsorsium, membeli klub dan membebankan utang mereka ke klub. Arsenal klub yang tak kalah sehatnya dengan Manchester United, sangat patuh dengan neraca pemasukan dan pengeluaran, namun sudah delapan tahun puasa gelar.
Chelsea di lain pihak jelas tidak sehat dibanding Man United ataupun Arsenal. Akan tetapi, dengan gelontoran uang Abramovich mereka bisa memenangkan 11 piala dalam masa sepuluh tahun terakhir. Tidak satupun piala yang luput dari tangan mereka: Liga Champions, Liga Primer, Piala FA, Piala Liga hingga Liga Europa.
Bagi saya, selama Abramovich mau, maka yang rugi adalah ia, bukan Chelsea sebagai klub. Apa salahnya sekali-sekali sepakbola memanfaatkan uang dari mereka yang meraup keuntungan dari bisnis lain. Apa salahnya sepakbola sesekali mendapat penghidupan dari tempat lain dan tak harus memberi penghidupan kepada yang lain.
Itu dengan asumsi Abramovich memang abai dengan persoalan bisnis ketika menyangkut Chelsea. Sebuah asumsi yang saya kira sama sekali tidak benar kalau melihat catatan hidup Abramovich sebagai "pengusaha sukses" -- sekaligus menepis kekhawatiran ia akan bosan mengelola Chelsea.
Satu hal saja yang membuat saya berkeyakinan seperti ini. Saya menyaksikan sendiri pembengkakan jumlah fan base (penggemar) Chelsea yang luar biasa sejak Abramovich menjadi pemiliknya, semenjak piala-piala silih berganti hilir mudik mengisi almari piala mereka.
Saya masih ingat zaman ketika untuk mendapatkan tiket pertandingan Chelsea bukanlah hal yang terlalu sulit dan belum terlalu mahal. Kini kemudahan itu telah hilang sepenuhnya. Permintaan tiket kini jauh melampui ketersediaan, yang berarti telah terjadi pembengkakan peminat.
Seperti di klub-klub besar Inggris, kini semakin banyak wajah asing/wisatawan datang untuk menonton di Stamford Bridge. Sekarang di setiap pertandingan, jamak terlihat rombongan wisatawan/penonton berbahasa Rusia dalam jumlah besar dengan diarak oleh tour guide ikut menonton. Saya yakin, berbagai piala itu telah membengkakkan fan base bukan hanya di Inggris dan negeri asal Abramovich, Rusia, tetapi juga seluruh dunia termasuk Indonesia.
Bisa dibayangkan kalau Chelsea terus menerus mendulang piala demi piala setiap tahunnya. Akan seberapa besar fan base Chelsea dalam lima sepuluh tahun mendatang. Abramovich pasti mencatat apa yang terjadi dengan Man United dan Liverpool, dua klub tersukses di Inggris.
Kesuksesan memang melahirkan sejarah. Sejarah melahirkan penggemar. Bahkan untuk bertahun-tahun kemudian. Betapa besar fan base Man United dan Liverpool ada di seluruh dunia karena alasan sejarah dan prestasi yang mereka raih. Peran penggemar itu dalam memberi pemasukan kepada klub sungguh tak terhingga, baik langsung lewat pembelian tiket pertandingan dan cindera mata klub, atau tidak langsung sebagai pasar kekuatan untuk merundingkan sponsor maupun hak tayang pertandingan. Man United dan Liverpool sudah dua langkah lebih diuntungkan dibandingkan klub manapun di Inggris karena besarnya fan base mereka.
Apa yang dilakukan Abramovich saat ini adalah menulis sejarah. Sebuah kisah yang keuntungannya baru akan bisa dipetik nanti entah kapan. Ia ingin sejarah kegemilangan Chelsea mapan secepat mungkin. Ia ingin sesegera mungkin mengejar posisi Man United dan Liverpool. Ia sadar cepat atau lambat akan banyak orang kaya seperti dirinya akan melakukan hal yang sama. [Coba lihat apa yang terjadi dengan Manchester City di Inggris ataupun Paris Saint Germain di tingkat Eropa]. Ia tak punya banyak waktu.
Karenanya, menggelontorkan uang seperti tanpa batas, menyewa dan memecat manajer seperti sekehendak hati (dan mungkin menjilat ludah sendiri seandainya benar Jose Mourinho kembali), mengganti personel dan struktur organisasi klub seperti tanpa dipikir harus dimaknai sebagai upaya agar penulisan sejarah itu bisa secepatnya dicapai.
Abramovich memang kemudian terkesan berlebihan dalam setiap upayanya. Tak apa. Ia cukup uang untuk membiayainya. Ia tak akan jatuh miskin hanya karena Chelsea. Dan juga, konon, setiap yang berlebihan pada akhirnya akan mengarahkan kepada sikap yang bijaksana. "The road of excess leads to the palace of wisdom", kata salah satu penyair terkenal Inggris dari Jaman Romantik, William Blake. Entah yang bijaksana itu akan seperti apa nantinya untuk Abramovich.
Sejarah masih belum selesai ditulis. Semoga kita cukup ada umur untuk terus menyaksikan kelanjutannya.
=====
(detik.com)
Dari awal, cerita keterlibatan Abramovich dengan Chelsea saja sudah seperti dongeng. Cerita resmi yang beredar adalah bahwa ketika ia tertarik untuk membeli klub bola di Inggris, ia meminta sebuah bank investasi UBS Warburg untuk membuat daftar klub potensial layak beli dan bisa berkembang menjadi kerajaan bisnis.
Teratas di daftar tercatat nama Manchester United, tapi konon terlalu mahal dan potensi resistensi oleh penggemarnya membuat klub ini menjadi tak menarik dari banyak segi.
Singkat cerita, pilihan akhirnya jatuh ke Tottenham Hotspur atau Chelsea. Dari dua klub London ini pilihan jatuh ke Chelsea karena pemilik klub lebih gampang didekati dan bersedia berunding. Berbeda dengan Tottenham, Chelsea di bawah kepemilikan Ken Bates kala itu memang sedang dirundung utang yang tidak sedikit dan sedang mencari pembeli.
Namun, cerita lain (tidak resmi) yang beredar tidaklah sedingin kalkulasi bisnis itu. Konon Abramovich sebenarnya tak menjadikan daftar yang dibuat UBS Warburg sebagai satu-satunya pegangan. Atau bahkan daftar dari UBS Warburg itu belum ada sama sekali ketika ia berpikir untuk membeli sebuah klub sepakbola. Ia suatu saat hendak pergi melihat-lihat sebuah klub di Inggris Utara, tidak disebut klub yang mana, karena tertarik untuk membelinya.
Ketika helikopter yang membawanya dari London mengudara lewat di atas Stamford Bridge, dan dijelaskan bahwa itu stadion Chelsea, ia membatalkan penerbangan dan hatinya tiba-tiba tertetapkan untuk membeli klub London Barat itu. Entah ia jatuh cinta, atau otak bisnisnya melihat sesuatu, atau dua-duanya pada saat bersamaan.
Mana cerita yang benar tidaklah terlalu penting. Yang jelas, pada tanggal 2 Juli 2003 Roman Abramovich resmi menjadi pemilik tunggal Chelsea. Dan torehan sejarah baru Chelsea pun dimulai.
Tak lebih sebulan setelah pembelian itu, Abramovich yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal publik Inggris, membuat langkah yang menggetarkan bukan hanya publik sepakbola Inggris tetapi juga Eropa. Ia mengizinkan pembelanjaan pemain hingga lebih 100 juta poundsterling sekali jalan, terbesar dalam sejarah persepakbolaan Eropa. Belum pernah ada klub "segila" Chelsea dalam hal pembelanjaan pemain. Itu hanyalah awal. Pembelanjaan itu menandai sebuah zaman baru dalam hal kepemilikan dan pengelolaan klub di Eropa.
Sebelum Abramovich dengan Chelseanya, sebenarnya sudah ada orang kaya yang bertindak serupa. Bernard Tapie dengan Olympic Marseille, Silvio Berlusconi dengan AC Milan atau keluarga Agnelli dengan Juventus. Gaya yang tak jauh berbeda dilakukan oleh Real Madrid tetapi dengan dukungan pemerintah Madrid (atau Spanyol), maupun Barcelona dengan dukungan anggota klub (rakyat Catalunya).
Namun, skala pembelanjaan mereka tak seberapa dibanding Abramovich. Dan mereka yang sebelum-sebelum Abramovich masih mempertimbangkan persoalan bisnis, menghitung pemasukan dan pembelanjaan, tidak semata persoalan meraih prestasi di lapangan. Abramovich seperti tak mempedulikan hal itu.
Semenjak membelanjakan 100 juta poundsterling pertamanya, entah sudah berapa ratus juta lainnya ia belanjakan untuk Chelsea, dari pembelian pemain, personel organisasi untuk menjalankan klub hingga memperbaiki fasilitas klub.
Kesukaannya untuk menyewa manajer/pelatih yang dianggap jagoan dan kemudian memecatnya bila dianggap tak sesuai dengan kemauannya juga legendaris. Ia (seperti) tak peduli dengan jutaan poundsterling uang kompensasi yang harus dikeluarkan untuk membajak mereka atau memberi pesangon ketika memecat. Selama 10 tahun Chelsea di bawah Abramovich, 10 pula jumlah manajer yang telah ia sewa.
Berbagai kritik datang dari berbagai penjuru terhadap gaya pengelolaan Abramovich ini. Chelsea adalah contoh pengelolaan klub yang salah, begitu inti kritik itu. Dari persoalan besar pasak pengeluaran daripada tiang pemasukan, lebih senang membeli pemain jadi daripada membina pemain muda, meraih kesuksesan instan (seketika) ketimbang sabar tapi berkelanjutan, hingga kekhawatiran akan kehidupan Chelsea sebagai sebuah klub kalau Abramovich tiba-tiba bosan dan menjualnya.
Saya bukan pendukung Chelsea ataupun Abramovich, tetapi termasuk di antara sedikit yang mencoba melihatnya dari perspektif yang berbeda. Bagi saya titik awalnya adalah kekayaan yang seperti tak terukur dari Abramovich ini.
Untuk perbandingan, sebagai perusahaan, Manchester United dan Arsenal adalah yang paling sehat di Inggris ini. Mereka menjadi teladan pengelolaan klub yang baik dan benar. Tetapi kesehatan Manchester United membawa sial bagi dirinya sendiri ketika keluarga Glazer berutang ke sebuah konsorsium, membeli klub dan membebankan utang mereka ke klub. Arsenal klub yang tak kalah sehatnya dengan Manchester United, sangat patuh dengan neraca pemasukan dan pengeluaran, namun sudah delapan tahun puasa gelar.
Chelsea di lain pihak jelas tidak sehat dibanding Man United ataupun Arsenal. Akan tetapi, dengan gelontoran uang Abramovich mereka bisa memenangkan 11 piala dalam masa sepuluh tahun terakhir. Tidak satupun piala yang luput dari tangan mereka: Liga Champions, Liga Primer, Piala FA, Piala Liga hingga Liga Europa.
Bagi saya, selama Abramovich mau, maka yang rugi adalah ia, bukan Chelsea sebagai klub. Apa salahnya sekali-sekali sepakbola memanfaatkan uang dari mereka yang meraup keuntungan dari bisnis lain. Apa salahnya sepakbola sesekali mendapat penghidupan dari tempat lain dan tak harus memberi penghidupan kepada yang lain.
Itu dengan asumsi Abramovich memang abai dengan persoalan bisnis ketika menyangkut Chelsea. Sebuah asumsi yang saya kira sama sekali tidak benar kalau melihat catatan hidup Abramovich sebagai "pengusaha sukses" -- sekaligus menepis kekhawatiran ia akan bosan mengelola Chelsea.
Satu hal saja yang membuat saya berkeyakinan seperti ini. Saya menyaksikan sendiri pembengkakan jumlah fan base (penggemar) Chelsea yang luar biasa sejak Abramovich menjadi pemiliknya, semenjak piala-piala silih berganti hilir mudik mengisi almari piala mereka.
Saya masih ingat zaman ketika untuk mendapatkan tiket pertandingan Chelsea bukanlah hal yang terlalu sulit dan belum terlalu mahal. Kini kemudahan itu telah hilang sepenuhnya. Permintaan tiket kini jauh melampui ketersediaan, yang berarti telah terjadi pembengkakan peminat.
Seperti di klub-klub besar Inggris, kini semakin banyak wajah asing/wisatawan datang untuk menonton di Stamford Bridge. Sekarang di setiap pertandingan, jamak terlihat rombongan wisatawan/penonton berbahasa Rusia dalam jumlah besar dengan diarak oleh tour guide ikut menonton. Saya yakin, berbagai piala itu telah membengkakkan fan base bukan hanya di Inggris dan negeri asal Abramovich, Rusia, tetapi juga seluruh dunia termasuk Indonesia.
Bisa dibayangkan kalau Chelsea terus menerus mendulang piala demi piala setiap tahunnya. Akan seberapa besar fan base Chelsea dalam lima sepuluh tahun mendatang. Abramovich pasti mencatat apa yang terjadi dengan Man United dan Liverpool, dua klub tersukses di Inggris.
Kesuksesan memang melahirkan sejarah. Sejarah melahirkan penggemar. Bahkan untuk bertahun-tahun kemudian. Betapa besar fan base Man United dan Liverpool ada di seluruh dunia karena alasan sejarah dan prestasi yang mereka raih. Peran penggemar itu dalam memberi pemasukan kepada klub sungguh tak terhingga, baik langsung lewat pembelian tiket pertandingan dan cindera mata klub, atau tidak langsung sebagai pasar kekuatan untuk merundingkan sponsor maupun hak tayang pertandingan. Man United dan Liverpool sudah dua langkah lebih diuntungkan dibandingkan klub manapun di Inggris karena besarnya fan base mereka.
Apa yang dilakukan Abramovich saat ini adalah menulis sejarah. Sebuah kisah yang keuntungannya baru akan bisa dipetik nanti entah kapan. Ia ingin sejarah kegemilangan Chelsea mapan secepat mungkin. Ia ingin sesegera mungkin mengejar posisi Man United dan Liverpool. Ia sadar cepat atau lambat akan banyak orang kaya seperti dirinya akan melakukan hal yang sama. [Coba lihat apa yang terjadi dengan Manchester City di Inggris ataupun Paris Saint Germain di tingkat Eropa]. Ia tak punya banyak waktu.
Karenanya, menggelontorkan uang seperti tanpa batas, menyewa dan memecat manajer seperti sekehendak hati (dan mungkin menjilat ludah sendiri seandainya benar Jose Mourinho kembali), mengganti personel dan struktur organisasi klub seperti tanpa dipikir harus dimaknai sebagai upaya agar penulisan sejarah itu bisa secepatnya dicapai.
Abramovich memang kemudian terkesan berlebihan dalam setiap upayanya. Tak apa. Ia cukup uang untuk membiayainya. Ia tak akan jatuh miskin hanya karena Chelsea. Dan juga, konon, setiap yang berlebihan pada akhirnya akan mengarahkan kepada sikap yang bijaksana. "The road of excess leads to the palace of wisdom", kata salah satu penyair terkenal Inggris dari Jaman Romantik, William Blake. Entah yang bijaksana itu akan seperti apa nantinya untuk Abramovich.
Sejarah masih belum selesai ditulis. Semoga kita cukup ada umur untuk terus menyaksikan kelanjutannya.
=====
(detik.com)