Share Up To 110 % - 10% Affiliate Program
Posted by : Unknown Kamis, 11 Juli 2013


Mendengar istilah inverted-winger atau inside-out winger, sulit untuk tidak melayangkan pikiran pada sosok Robert Pires. Meski Marc Overmars telah lebih dulu jadi pemain "berkaki kanan" di sayap kiri di Arsenal, adalah Pires yang seolah membuat publik sepak bola Inggris terkesima. Bahwa ada cara lain untuk memerankan posisi pemain sayap.

Kombinasi Pires dengan Thiery Henry dan Ashley Cole di sisi lateral kiri Arsenal memang memiliki peran penting bagi prestasi The Gunners di awal hingga medio dekade 2000. Dua trofi Premier League dan 3 Piala FA pun berhasil digondol dalam waktu 5 tahun. Bahkan, di salah satu musimnya mereka sempat tak terkalahkan dan jadi "The Invicibles".

Jadi ikon keberhasilan taktik inverted-wingers, uniknya pemain yang sempat mendapat panggilan D’Artagnan ini sempat diramal akan gagal di Liga Inggris.

Si Anak Altar Bertransformasi

Dengan janggut tipis yang memanjang lurus dari bibir hingga ke dagu, serta rambut yang melewati bahu, julukan D’Artagnan pada Robert Pires sungguhnya tak salah. Perawakan pemain yang memiliki darah Portugal-Spanyol ini memang mirip dengan tokoh kisah "The Three Musketeers" itu. Dengan gayanya yang stylish, sebagaimana mayoritas penduduk Prancis lainnya, julukan ini pun makin melekat pada Pires.

Media dan publik Prancis sempat memvonisnya akan gagal di Inggris karena tidak memiliki kekuatan dan kecepatan yang dibutuhkan untuk menaklukkan Premier League. Sementara Wenger pernah melindunginya dari suatu wawancara karena tekanan dari sorotan publik dianggap terlalu besar untuknya.

Demikian pula dengan Didier Deschamps, kapten Prancis yang merangkap teman sekamar Pires di timnas Perancis semenjak 1996. Mengomentari Pires, Deschamps pernah berkata: "Dalam waktu yang cukup lama, Robert bersikap terlampau baik. Anda harus berulang kali mengingatkannya untuk menguatkan diri".

Namun, di luar prediksi orang kebanyakan, Pires hanya memerlukan waktu 6 bulan untuk beradaptasi dengan Arsenal dan London. Jika pada pertandingan pertamanya, kala itu melawan Sunderland, Pires hanya bisa terpana melihat intensitas permainan yang seakan tak pernah mengendur, enam bulan kemudian ia telah meneror bek-bek kanan Inggris. Dua tahun kemudian, Pires pun sudah dinobatkan sebagai pemain terbaik Premier League oleh para jurnalis yang dulu meragukan kemampuannya.

Salah satu faktor suksesnya adaptasi Pires ini adalah karena beberapa teman timnasnya yang juga bermain di Arsenal. Dengan kehadiran Emannuel Petit, Thierry Henry, Sylvain Wiltord, serta seorang manajer asal Prancis Arsene Wenger, ia memang lebih mudah untuk merasa kerasan di London.

Apalagi, dalam sosok Wenger, Pires menemukan manajer yang mampu meningkatkan kepercayaan dirinya. Sebagaimana Wenger membentuk Petit, Henry, dan Anelka, Pires pun merasakan bagaimana tangan dingin Wenger mampu merubahnya jadi pemain yang lebih komplet. Tapi, meski terdengar klise, hal terbesar yang membuat Pires jadi lebih tangguh adalah dirinya sendiri.

"Jika kamu menjadi pemain asing di Premier League, maka kamu hanya bisa mengandalkan diri sendiri untuk beradaptasi, karena tak mungkin lingkunganmu yang berubah," ujarnya pada satu wawancara dengan koran Guardian.

Dalam waktu dua tahun, Pires pun berhasil menggenapi tekadnya untuk beradaptasi. Si anak baik yang tak senang ribut itu lalu memiliki cukup keberanian untuk melakukan tekel pada Claudio Makalele. Pires juga jadi cukup liar untuk menendang bola ke arah wasit Graham Poll, hanya karena ia tak suka dengan keputusan-keputusan Poll dalam satu pertandingan.

Rambut yang dulu tertata rapih kemudian dibiarkannya panjang. Sehingga pada akhirnya Petrole Hahn, salah satu produk shampo yang mengikat kontrak dengan Pires, memasang klausul yang melarang Pires memotong rambutnya. Demikian pula dengan janggut tipis yang membuatnya dijuluki sebagai D’Artagnan. Puma juga melarang Pires untuk mencukurnya.

Si anak altar resmi bertransformasi jadi anggota keempat The Musketeer.

Hidup di Sayap Kiri

Selain mengeraskan hati untuk bermain di Premier League, salah satu perubahan lainnya yang ia lakukan adalah caranya bermain. Meski kuat di kaki kanan, Pires sebenarnya mampu bermain di kedua sayap dan juga di tengah. Bahkan, Wenger sendiri sempat berkomentar bahwa Pires memiliki kemampuan yang cukup untuk jadi penerus Zinedine Zidane sebagai playmaker Prancis.

Namun kombinasinya dengan Henry dan Ashley Cole di sayap kiri Arsenal lah yang menasbihkannya sebagai pemain terbaik keenam Arsenal sepanjang masa. Di sayap kiri ini, jika Pires tidak sedang sibuk memberikan assist pada Henry atau Bergkamp, maka ia akan mencetak gol-gol indah. Dengan ia yang bergerak memotong kedalam, Pires sendiri memang sering mendapatkan celah antara center-back dan bek kanan untuk melancarkan tendangan keras ke tiang jauh.

Meski berperan sebagai pemain sayap, sebenarnya Pires jarang berada dekat garis pinggir lapangan. Ia cenderung bergerak di sayap bagian dalam, mengikuti perannya sebagai seorang inside-out winger.

Dalam skema serangan Arsenal, Pires sendiri sangat efektif dalam menjadi tumpuan serangan balik. Pasalnya dengan kemampuan first-touch yang istimewa, Pires tak perlu kehilangan waktu untuk menahan umpan dan mengubah arah bola jadi ke depan. Ini dikarenakan ia acap menerima bola dengan kaki terluar yang notabene juga kaki terkuatnya. Kemampuannya ini membuat Pires sangat baik dalam menjalankan proses transisi dari bertahan ke menyerang.

Selain karena first-touch-nya, Satu keunikan dari Pires sendiri adalah pada caranya menggiring bola yang terlihat canggung. Akan tetapi, jarang ada pemain lawan yang bisa merebut bola dari kakinya.

Karena itu tak heran Pires lebih sering melakukan dribbling untuk melewati lawan. Misalnya saja pada musim 2002/2003 atau musim ketiga Pires di Inggris. Dalam 50 penampilannya Pires bisa mencatatkan 393 kali usaha untuk melakukan dribbling. Bandingkan dengan pemain sayap tradisional seperti David Beckham yang hanya mencatatkan 190 kali dribbling attempts dalam 58 pertandingan.

Dengan melakukan komparasi dengan pemain sayap murni seperti Beckham, terlihat bagaimana berbedanya Pires dengan sayap tradisional lainnya. Jika Beckham mampu melakukan 575 umpan silang dalam 58 laga (rataan 9,91 umpan silang/laga), maka Pires hanya mencatatkan 217 umpan silang dalam 50 pertandingan, atau rataan 4,3 umpan silang/laga.

Namun, minimnya kontribusi dalam umpan silang ini ia tebus dengan total 41 kali attempts on target, sementara Beckham hanya 17 kali.

We Are Not Worthy

Dengan kemampuannya beroperasi sebagai inverted winger, serta ketangguhan mentalnya yang semakin kokoh, tak heran hanya dalam waktu dua tahun saja ia telah memenangi hati banyak orang. Termasuk diantaranya dari rekan setimnya.

Satu peristiwa yang tak akan mungkin dilupakan oleh Pires dan fans Arsenal lainnya tentu adalah saat ia mengangkat trofi Premier League di akhir musim 2001/2002.

Kala itu, hampir semua pemain Arsenal lainnya disoraki saat menerima medali Premier League. Tapi saat Pires beranjak untuk mengambil medali kepunyaannya, teman-teman setimnya malah membungkuk dan memberi penghormatan pada Pires dengan gestur yang seakan menandakan "we are not worthy". Sebuah gesture yang dapat diartikan bahwa Pires diakui sebagai figur kunci bagi Arsenal dalam meraih gelar juara liga.

Uniknya kala itu Pires sendiri semenjak 23 Maret 2002 mengalami cedera lutut kanan dan harus absen hingga akhir musim. Saat gelar juara liga, maupun Piala FA, dipastikan diraih oleh Arsenal, Pires pun hanya mampu menyaksikan dari pinggir lapangan saja.

Bahwa rekan setimnya dan para jurnalis kemudian tetap menganggapnya sebagai pemain terbaik Arsenal musim itu, tentu jadi testamen bagi kehebatan seorang Pires. Seorang pemain sayap yang jadi pembuka jalan bagi fenomena inverted-winger yang banyak diadopsi oleh tim-tim dewasa ini. (detik.com)

Leave a Reply

Terima Kasih Telah Berkunjung

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © KUMPUL DI SINI - Dawie Heart - Powered by Blogger - Designed by Garuda Indonesia Komunitas -