Share Up To 110 % - 10% Affiliate Program
Posted by : Unknown Senin, 23 September 2013


Cinta itu memang buta, begitu butanya sampai membuatku melakukan kesalahan yang sangat besar. Kesalahan yang mungkin akan kusesali seumur hidupku ini.

***
Usiaku 19 tahun saat kakak pertamaku menikah. Kami sebenarnya sekeluarga kaget, ia adalah sosok wanita yang sangat manja dan seringkali berbuat sesuka hati, tetapi ternyata ada pria yang dengan besar hati mau menyuntingnya. Pada waktu itu kami mengiyakan saja dan bersyukur, siapa tahu tindak tanduk kakakku dan sifatnya bisa berubah karena suaminya.

Kami sendiri sebenarnya tidak cukup banyak tahu asal usul dan kapan mereka berpacaran. Tetapi setelah bertemu dengan keluarganya, keluargaku setuju karena calon kakak iparku ini berasal dari keluarga baik-baik. Singkat kata, rencana pernikahan itu tidak terkendala apapun dan berjalan lancar-lancar saja.
Merekapun menikah dan menempati rumah sendiri di daerah yang cukup jauh dari rumahku. Demikian, kami mengira mereka sudah hidup nyaman dan bahagia.

***
Belum sebulan menikah, kemudian kuketahui kakakku sudah hamil. Ia jadi sering sekali pulang ke rumah dan bermanja pada bunda. Bundaku bersabar dan diam saja. Kukira memang hal itu sudah wajar, tetapi apa nggak kasihan sama suaminya yang sering sendirian di rumah? Alhasil, karena tak tega dengan kakak ipar, bunda mengutusku tinggal sementara di rumah kakak. Untuk sekedar membantunya mengerjakan hal-hal di rumah karena kondisi hamilnya cukup membuat ia sering berbaring di kamar.

Kakak iparku bukan orang yang banyak bicara. Ia cenderung pendiam dan memang terlihat sangat sabar. Sesekali ia mengajakku ngobrol, tapi hanya seputar studiku saja. Memberikan saran yang bijak seperti kakak sendiri.

Aku akui, di kehamilannya kakakku jauh lebih manja dan egois ketimbang biasanya. Pantas saja kalau ia ngotot pulang ke rumah bunda. Mungkin saja memang ia tak betah melakukan apa-apa sendiri. Dan aku menerima saja karena sesungguhnya aku juga menyayanginya, aku juga menyayangi calon keponakan yang ada di rahimnya.

***
Hari ini kakak keterlaluan. Aku yang selama ini bersabar sudah tak betah dibuatnya. Baru saja sebulan aku di sini, aku sudah ingin pulang ke rumah bunda. Setiap hari aku menelepon bunda untuk menceritakan kondisi dan permasalahan apa yang sedang terjadi. Bunda hanya memintaku lebih bersabar. "Bunda percaya kalau kamu bisa lebih bersabar. Makanya Bunda mengirimmu ke sana. Sudahlah, kalau toh terlanjur menjengkelkan, tinggal saja jalan-jalan sejenak atau bilang kalau kamu ada kegiatan di kampus," kata Bunda membujukku.

Awalnya aku ingin segera pulang, tapi kuurungkan niatku karena aku tahu Bunda sendiri sebenarnya sudah pusing dibuatnya.

Melihatku termenung di teras lantai atas, kakak iparku menghampiri. "Ada apa?" tanyanya. Ia jarang mengajakku berbicara, tetapi kali ini aku akan memanfaatkan momen ini untuk curhat seputar istrinya. Siapa tahu ia bisa mengatasinya.

Manggut-manggut dan hening sejenak, kemudian ia membuka suara. Ia menceritakan beberapa hal yang belum pernah kuketahui sebelumnya. Bagaikan petir, aku baru tahu kalau sebenarnya kakak iparku tidak mencintai kakakku. Bayi yang ada di kandungannya bukanlah bayinya. Melainkan bayi adiknya, yang sudah kabur ke luar negri karena enggan bertanggung jawab atas kondisi kakak.

Sebenarnya waktu itu kakak mengaku sudah hamil terlebih dahulu agar adik kakak iparku menikahinya. Tetapi ia kabur entah ke mana. Alhasil, karena tak mau sampai keluarganya mencelakakan keluarga orang lain, kakak iparku diminta menikahi kakakku oleh keluarganya.

"Jadi begitu kak... apa yang akan kakak lakukan setelah ini?" pertanyaanku begitu tidak penting dan mungkin membuat kakak iparku semakin pusing. Sebelum ada jawaban darinya, aku langsung tersadar dan menggamit lengannya. "Ah sudah kak, ayo kumasakkan sesuatu untukmu. Kau pasti belum makan," kataku ceria. Lantas aku tersentak sendiri. Kulepaskan tanganku dari lengannya dan aku sadar bahwa tak seharusnya aku melakukan hal itu. Aku tak bicara apa-apa dan hanya bergegas turun untuk memasak untuknya.

***
Sejak hari itu sebenarnya sikap kakak iparku berbeda. Ia lebih memperhatikanku, lebih sering mengajakku ngobrol, lebih sering menghiburku dan menemaniku berbelanja atau membelikan kakak makanan yang ia inginkan.

Aku merasa ada yang berbeda. Ia tak seperti kakak ipar bagiku. Ia mungkin adalah sosok kakak yang hangat, tetapi juga.... membuatku jatuh hati padanya.
"Kamu sudah punya pacar?" tanyanya, dan kujawab dengan menggelengkan kepala.
"Tidak sedang jatuh cinta? ah masa, usia segini biasanya kan sedang seru-serunya. Apalagi kamu... (ia terdiam) Kamu cantik menurutku," katanya lagi membuatku deg-degan.
Mendengar kata-katanya aku jadi kegeeran. Mungkinkah ia mengalami perasaan yang sama sepertiku? Mungkinkah ia juga jatuh cinta denganku?

***
Hari itu kakakku memilih bepergian dengan temannya sedari sore. Dan hingga sekarang pukul 10 malam ia tak kunjung pulang. Aku yang resah berusaha meneleponnya, tetapi tak juga diangkat. Aku kesal. Akupun kemudian naik ke atas ke ruang jemuran di mana bisa melihat bintang. Aku senang menghabiskan waktu di sana karena suasananya sepi dan tenang.
"Sedang apa kamu di sini?" suara kakak iparku mengagetkanku.
"Aku... aku tidak dengar mobil kakak datang. Eumm... Kakakku belum pulang, jadi aku tidak bisa tidur..." kataku.

"Ah, biarkan saja. Mungkin bisa jadi dia malah pulang pagi seperti biasanya."
"Seperti biasanya gimana?"
"Dulu sebelum kehamilannya membuat ia mual-mual, ia sering malah tak pulang. Pergi ke cafe dan nongkrong hingga dini hari. Mungkin sekarang kondisinya baikan, makanya ia doyan nongkrong lagi," kata kakak iparku tak kaget.

Kusadari memang kakakku yang satu itu susah dimengerti. Mungkin karena paras wajahnya yang cantik maka ia tak pernah merasa bersalah bila berbuat seenaknya. Kasihan kakak iparku.
"Aku ingin bertanya sesuatu padamu?" tanya kakak ipar.
"Apa?"

"Apakah kamu juga memiliki perasaan yang sama sepertiku?" Pertanyaannya membuat jantungku nyaris copot. Apakah memang benar ia memiliki perasaan yang sama sepertiku? Aku terdiam cukup lama. Menunduk dan tak bisa menjawab apa-apa. Kediamanku dianggap sebuah jawaban positif bagi kakak iparku. Ia kemudian merentangkan tangannya dan merengkuhku. Aku merasa nyaman di pelukannya. Aku merasa cintaku tak hanya bertepuk sebelah tangan. Aku begitu tergila-gila padanya.

***
Hari ini kakakku melahirkan. Aku sudah dua bulanan ini kembali ke rumah Bunda. Dengan alasan aku lelah dan sudah tak bisa memberinya toleransi. Tetapi hubunganku dengan kakak iparku tetap baik dan semakin baik. Aku bertahan sebagai kekasih gelapnya di dalam rumah tangga kakakku sendiri.
"Bunda mau bicara, dek," kata Bunda sambil memegang bahuku ketika menunggu kakakku keluar dari ruang operasi.

"Apa sih bunda?," bunda terdiam kemudian menghela napas panjang seperti sedang mengatur kata-kata.
"Kamu mencintai kakak iparmu?" pertanyaan bunda bagaikan petir di hari itu. Aku tak tahu harus menjawab apa karena aku tak mau bunda bersedih.

"Sebenarnya bunda sudah tahu sejak kamu tinggal di sana, kalian bakal saling jatuh hati. Bunda juga sudah tahu perihal kakak iparmu yang sebenarnya tidak mencintai kakakmu. Kondisi yang menyebabkan kalian harus begini bukan? Tetapi dek, Bunda meminta dengan sangat agar kamu tidak egois. Ia adalah suami kakakmu nak. Tidak seharusnya kamu merebut cinta dari kakakmu sendiri..."

Aku tak berkata apa-apa. Aku menangis dalam kebisuanku. Harus apa aku sekarang? Aku mencintai suami kakakku, yang tidak mencintai kakakku. Yang menikahi kakakku hanya karena tanggung jawab dan menjaga nama keluarganya.

Pembaca  yang setia,
Aku bingung saat ini. Apakah aku harus memilih melanjutkan cintaku ini atau menyudahinya demi kakakku dan bayinya? Aku tak tahu harus bercerita pada siapa lagi. Dan aku benar-benar tak tahu jawaban dari masalahku ini apa. Aku berharap kalian bisa membantuku. (vemale.com)

Leave a Reply

Terima Kasih Telah Berkunjung

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © KUMPUL DI SINI - Dawie Heart - Powered by Blogger - Designed by Garuda Indonesia Komunitas -